Monosodium Glutamate atau lebih dikenal dengan MSG, masih menjadi stigma negatif di masyarakat Indonesia. Hal itu ditandai dengan masih adanya informasi negatif tentang bahaya mengkonsumsi MSG. Termasuk, berita negatif dan tidak berimbang dari sejumlah media tentang MSG. Fakta itulah yang membuat Persatuan Pabrik Monosodium Glutamate dan Glutamic Acid Indonesia (P2MI) massive menggelar kampanye edukasi kepada media maupun masyarakat.
Dikatakan Muhammad Fachrurozy, Ketua Persatuan Pabrik Monosodium Glutamate dan Glutamic Acid Indonesia, untuk menghilangkan stigma negatif tersebut, P2MI menggelar sejumlah program edukasi. Di antaranya, P2MI bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meluncurkan buku “Review Monosodium Glutamat”. Di buku tersebut disajikan informasi hasil penelitian dan fakta-fakta MSG secara berimbang. “Di dalam buku ini, ada juga bantahan dari profesor yang menegaskan bahwa MSG aman dikonsumsi,” ucapnya.
Upaya lainnya, P2MI juga menuliskan sekaligus menyampaikan surat bantahan kepada media-media yang mempublikasikan isu glutamat secara tidak berimbang. “Ada beberapa media yang merespon surat bantahan kami dengan positif, tetapi ada juga yang sama sekali tidak meresponnya,” tuturnya.
Paling anyar, menggandeng Forum Warta Pena, P2MI menggelar program edukasi bertajuk “Gizi Seimbang dari Bahan Tambahan Pangan Halal”. Program edukasi tersebut dihadiri oleh berbagai media nasional di Jakarta. Pada kesempatan itu, turut dihadirkan para pakar. Di antaranya. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah M.S., selaku pakar gizi IPB yang juga Rektor Universitas Sahid Jakarta, Tetty R. Sihombing selaku pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM RI, dan M. Fachrurozy, Ketua Persatuan Pabrik Monosodium Glutamate dan Glutamic Acid Indonesia.
Dipaparkan Prof. Hardinsyah, munculnya anggapan tentang bahaya MSG bagi kesehatan pertama kali dikemukakan oleh Dr. Ho Man Kwok, setelah berkirim surat ke New England Journal of Medicine pada tahun 1988. Dalam suratnya, dia menceritakan kemungkinan penyebab gejala yang dia alami setiap kali makan di restoran Cina di Amerika Serikat. Belakangan gejala itu dikenal dengan istilah ‘Sindrom Restoran China’.
Namun, menurutnya, MSG atau oleh masyarakat Indonesia dikenal dengan nama vetsin, sama sekali tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Apa yang dirasakan oleh Ho Man Kwok merupakan reaksi dari tubuhnya yang alergi dengan bahan yang terkandung dalam zat glutamate tersebut. "Berdasarkan sebuah penelitian memang ditemukan ada sebagian orang merasa alergi dengan MSG," tegas Prof. Hardinsyah.
Ditambahkan Tetty, dalam lima tahun terakhir, BPOM RI sudah mengeluarkan 153 nomor izin edar untuk kategori produk penguat rasa (MSG). “Dari angka itu. 139 adalah produk dalam negeri dan 14 adalah produk impor.”
Lebih lanjut ia menegaskan, saat ini tantangan perusahaan yang memproduksi produk penguat rasa adalah bagaimana menempatkan posisi MSG dengan baik, termasuk mensosialisasikan bahwa MSG aman dan tidak berbahaya. “BPOM juga memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengecek kemanan produk yang mereka konsumsi melalui aplikasi Ayo Cek BTP (Bahan Tambahan Pangan),” ujar Tetty.
Memanfaatkan momen “Hari Keamanan Pangan dunia” yang jatuh setiap tanggal 7 Juni, BPOM juga menggelar sejumlah program, di antaranya games tentang keamanan pangan, sosialisasi kepada media dan masyarakat, serta aktivasi merek di sejumlah daerah pada momen Car Free Day. “Objektif dari program ini adalah meningkatkan kesadaran masyarakat akan keamanan pangan,” tutupnya.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Hardi juga membantah isu yang mengatakan MSG jika dikonsumsi anak-anak akan menurunkan intelegensia mereka. tidak bukti bahwa asupan MSG menganggu otak, karena kecerdasan ditentukan oleh sel otak,” tandasnya.
Dia juga membantah jika ada yang menyatakan konsumsi MSG di Jepang rendah. “Negara yang banyak mengonsumsi MSG di dunia adalah Jepang dan China. Butkinya dua negara itu paling banyak membuat inovasi di Asia, kalau masyarakatnya bodoh tidak mungkin mampu berinovasi. Ini sederhananya,” kilahnya.
Pendapat senada disampaikan Ketua Persatuan Pabrik MSG & GA Indonesia (P2MI) M. Fachrurozy. Katanya keliru jika ada yang menyatakan konsumsi MSG di Jepang rendah, karena justru MSG ditemukan pertama kali di Jepang. “Ajinomoto sudah 110 tahun memproduksi bumbu masakan, salah satunya MSG. Dan Ajinomoto Indonesia melakukan ekspor ke Jepang, karena mereka sudah tidak memproduksi MSG,” jelas dia.
Fachrurozy menambahkan, Bahan Tambahan Pangan (BTP) seperti, MSG atau vetsin di industri pangan diatur dengan ketat dan baik oleh BPOM dengan kaidah penggunaan batas maksimum. Sebagai contoh MSG, merupakan BTP yang berfungsi untuk menguatkan rasa UMAMI atau gurih.